Rupa Rasa di Jakarta - Satu Sisi
Sudah telanjang bulat aku di hadapanmu. Sambil ketakutan, ku tahan kedua tanganku untuk tidak menutupi luka-luka di sekujur tubuh. Ada yang lukanya masih terlihat baru dua hari, merah-biru lebam disekitar sayatan, ada juga luka yang sudah menyatu dengan warna kulit. Permukaannya saja yang berbeda.
"Jadi bagaimana?" Tanyaku dengan suara lirih. Takut sekali dihakimi. Padahal skenario ditinggalkan sudah sering sekali dimainkan pada jam-jam malam sebelum tidur.
Di sebrang sana kamu hanya diam. Tatapanmu tak terbaca, jadi aku bertanya-tanya apakah rupa yang ku bawa hari ini sangat mengejutkanmu? Atau malah membuatmu iba?
Tak ada hitungan menit kamu menarik nafas berat, jawabanmu melantur kemudian. Ke barat, selatan, utara, timur. Berputar-putar. Bingung harus dialihkan kemana percakapan yang sering kamu hindari kala dibahas pada ruang maya kini dibahas saling bertatap mata.
Buku jariku pun memutih, kepalan tangan yang semakin mengencang tanda muak pada komunikasi satu arah ini. Kamu masih terus mengoceh soal kamu yang ini kamu yang itu tapi tak ada korelasi pada pertanyaanku.
Padahal ku harap ada kain yang lepas, dengan takut memberi tahu luka mana yang paling menyakitimu. Serta kapan kamu terluka. Atau luka mana yang akhirnya membentukmu hari ini.
Padahal ku harap kamu pun juga sama takutnya saat bertanya "Jadi bagaimana?"
Kamu memang tidak pergi. Hanya saja tidak bergerak. Apakah bisa disebut 'untungnya?'
Menyerah, pelan-pelan kutarik kain-kain baju, naik menutupi bekas-bekas lebam baru. Takutku menjadi nyata. Takutku menyakiti juga ternyata.
Bibirmu masih terus mengoceh ntah apa itu aku tak dengar, hati-hati aku sudah berjalan mundur memegang gagang pintu dan pergi.
Jika penutupan bukanlah sebuah penyataan.
"Jadi bagaimana?" Tanyaku dengan suara lirih. Takut sekali dihakimi. Padahal skenario ditinggalkan sudah sering sekali dimainkan pada jam-jam malam sebelum tidur.
Di sebrang sana kamu hanya diam. Tatapanmu tak terbaca, jadi aku bertanya-tanya apakah rupa yang ku bawa hari ini sangat mengejutkanmu? Atau malah membuatmu iba?
Tak ada hitungan menit kamu menarik nafas berat, jawabanmu melantur kemudian. Ke barat, selatan, utara, timur. Berputar-putar. Bingung harus dialihkan kemana percakapan yang sering kamu hindari kala dibahas pada ruang maya kini dibahas saling bertatap mata.
Buku jariku pun memutih, kepalan tangan yang semakin mengencang tanda muak pada komunikasi satu arah ini. Kamu masih terus mengoceh soal kamu yang ini kamu yang itu tapi tak ada korelasi pada pertanyaanku.
Padahal ku harap ada kain yang lepas, dengan takut memberi tahu luka mana yang paling menyakitimu. Serta kapan kamu terluka. Atau luka mana yang akhirnya membentukmu hari ini.
Padahal ku harap kamu pun juga sama takutnya saat bertanya "Jadi bagaimana?"
Kamu memang tidak pergi. Hanya saja tidak bergerak. Apakah bisa disebut 'untungnya?'
Menyerah, pelan-pelan kutarik kain-kain baju, naik menutupi bekas-bekas lebam baru. Takutku menjadi nyata. Takutku menyakiti juga ternyata.
Bibirmu masih terus mengoceh ntah apa itu aku tak dengar, hati-hati aku sudah berjalan mundur memegang gagang pintu dan pergi.
Jika penutupan bukanlah sebuah penyataan.
Ini juga bisa disebut perpisahan.
Komentar
Posting Komentar