Gincu Merah Ibu

Pertama kali langkahnya terasa berat, perempuan itu akhirnya memasuki gerbang besar dan dingin. Gerbang yang tidak pernah dia harapkan untuk pernah datang.

Warna gerbang itu dibuat tak gelap, benaknya bertanya "Sengajakah? Karena di balik sana tak semua hitam pekat. Bisa saja mereka masuk karena ada di situasi persimpangan, antara gelap dan terang. Benar dan salah."

Setelah panggilan antrian digema, perempuan itu harus dengan pahit memegang kertas berisi data dan perkara syarat
 berkunjung. Dilihatnya lekat-lekat potret wajah sang ibu yang selalu dia kagumi sejak kecil, betapa cantik rupanya dahulu namun kini berubah menjadi tua dan tak berdaya. Anak kecil dalam dirinya teringat pernah menangis tersedu-sedu ketika sang ibu berulang tahun ke 34, takut sekali ibunya tua dan meninggalkannya. Genap di 54 tangisnya dia paksa diam atas nama dewasa.

Jam tidak diperbolahkan dalam ruang berkunjung. Suara detik jam tidak bisa jadi hiburan sambil menunggu. Maka satu-satunya cara untuk mengusir bosan hanyalah membuat banyak pertanyaan sambil melihat orang-orang sekitar "Kira-kira anak semuda itu melakukan kesalahan apa ya?" Belum sempat dia temukan jawabannya, sosok yang dia tunggu kini hadir dengan gincu merah dan mata berair, itu ibu.

Perempuan itu bingung. Tidak bisa bahagia melihat ibunya yang sudah berbulan-bulan hilang, kini mengenakan rompi tahanan. Perempuan itu bingung harus bagaimana, jadilah dia hanya bisa terdiam sambil menundukan kepala. Tidak ada pertanyaan yang menghangatkan hati seperti "Apa kabar?" Atau "Bagaimana di dalam sana? Orang-orang baik kah padamu?" Tidak ada pertanyaan seperti itu. Seumur hidup dia tidak pernah diajari pertanyaan sehangat itu.

"Bu, kok masih bisa pakai makeup?" Malah pertanyaan asal yang dilontarkan untuk membuka pembicaraan. Jawabannya tak terduga malah membuat sang perempuan langsung menangis bersalah "Iya, didandanin sama temen-temen soalnya kamu datang hari ini. Karena jarang jadi harus terlihat cantik."

Selebihnya sang perempuan tidak bisa lagi mendengar cerita ibu
 yang belajar hidup di dalam sana. Cerita bagaimana dia menjadi tukang urut, bahkan mulai menjadi seorang guru bahasa. Dia juga tidak menyangka bisa merajut tas dan dompet yang diberi inisial nama anak-anaknya. Semua cerita yang ingin terdengar menarik demi menenangkan hati.

Sejujurnya perempuan itu tidak lagi mendengarkan karena selama sejam pertemuan yang dia pikirkan adalah marah dan rasa bersalah.

"Untuk ke depannya bagaimana aku harus mencintai ibu dengan luka basah yang masih terbuka?" Takut sekali dia jika lagi-lagi janjinya diingkari dan berakhir lagi dijeruji.

Jadilah untuk menutup satu jam yang dikira-kira, perempuan itu bertanya untuk memastikan "Setelah ini jangan ada lagi pesta pernikahan ya? Jangan lagi menikah."
Tapi ibu hanya diam hingga petugas menghampiri.

Dan semenjak pertemuan itu, 
tanyanya berubah menjadi takut.

Komentar

Postingan Populer