Jakarta 1997
Ibu hanya punya modal cinta, luka dan balita untuk ikut suaminya merantau ke Jakarta.
Hari-hari jauh dari ibunya, ibu sering sekali terdiam karena sulit menghadapi cinta dan luka masa lalu yang tak pernah kering. Koreng pun tak jadi-jadi. Alhasil suami dan balita sering mencium aroma nanah yang tak kunjung diobati.
Pada tahun itu sedihnya dia berkecamuk dalam pikiran. Bingung menghadapi pria yang ringan tangannya sebab ibu kurang pandai mencintai dengan tutur yang lembut.
Modal anak perempuan satu-satunya tak menjadikan dia kesayangan dari sebelas bersaudara. Bahkan sang ayah terlalu keras pada ibu, kakak-kakaknya pun terlalu gemar memukuli.
"Diam, diam saja. Jangan menangis. Mereka akan suka aku menangis kencang. Diam, diam saja. Semua luka ini akan hilang besok. Yang lain tak perlu tahu." Batinnya menguatkan.
Luka lebam menghilang, luka hati menganga.
Tak heran dia kini terjebak pada pria yang dia janjikan sehidup semati. Sayangnya tahun itu pula naluri ibu yang mati.
Sebelum benar-benar nafasnya habis, ibu menatap balita. Melihat mata besar yang menatap kebingungan karena mendengarkan semua isak dan keluh kesah ibu. Dan satu tamparan kencang melayang di pipi balita. Kencang sekali tangisnya agar supaya ibu bisa diam-diam merayakan kesedihan.
Komentar
Posting Komentar