Rupa Rasa di Jakarta - Konflik Rujak Cingur

Entah apa niat dari perempuan sulung tercipta, bahunya dipaksa tegap ketika harus terus memahami orang-orang di sekitarnya.


Begitu pula dengan Asri yang selalu bertanya mengapa dia mejadi salah satu yang diwariskan bahu sekuat itu?


Padahal jika Asri pikir-pikir, orang di sekitarnya peduli apa jika Asri menjaga perasaan mereka? 

Mereka semua cukup bajingan untuk Asri.

Sebagian dari mereka hanya merasa iba, sebagiannya lagi malah bersyukur atas setiap tangisan Asri.


Belum lagi Asri juga terbebani dengan opini. 

Kadang dia mendengar pujian “indah sekali hidup mu Sri” yang terdenger seperti sarkasme baginya. Tak jarang pula dia dengar cercaan dari balik wajah seribu “Untung saja kita bukan si Asri.” 

Hidup yang seperti apa yang dipuji dan juga dicaci?


Alih-alih Asri paham, dia hanya bisa menangis.



Menerima fakta bahwa semua beban perasaannya cuma dia sendiri yang rasa. Rasa sendiri ini membuat dia semakin tenggelam pada skenario yang menyedihkan.


Setiap kali tahu bahwa dia tak cukup berharga, di malam-malam itu pula dia hanya bisa meringkuk dalam doa sambil berkata “Tuhan, tak sanggup aku berdoa dalam duduk. Bolekah aku meringkuk seperti ini?” Tanyanya sambil terus menangis. Kemudian hanya hening dan isak yang terdengar. Dia harap sang Tuhan sudah tahu apa yang membebani hatinya.


Di suatu siang akhirnya dia bertemu dengan salah satu apa yang dia takutkan. Bukan dihadapi, tapi Asri malah menggambar kata-kata pada tangannya di sebuah studio tato abal milik kekasih? Teman mesra? Ntah lah apa. Asri tak bisa menjelaskan. Yang pasti di hari itu dia datang sambil terisak. Kepalanya masih berisik dadanya masih sesak. Tipografi bertuliskan “Save Me” sudah beres tapi tidak dengan kalutnya.


Hari terus berlari. Sama seperti kalut Asri yang terus membesar karena tak sempat dia urusi. Dia cukup sibuk mengurusi perasaan orang lain hingga dia sudah tak bisa ingat dalam meratapi nasibnya sendiri.


Ketika dia lupa, ternyata orang yang paling dia bingungkan datang untuk memeluk. Mungkin dia tak paham, jika pelukannya membuat air mata Asri berhasil kembali jatuh. 

Asri menggumam “Apa dia tidak tahu betapa sakitnya rasa satu arah ini?”

Pandangannya kembali kabur, emosinya pecah.


Bukannya dimengerti, orang yang memeluknya ini malah murka tak karuan membuat tangis Asri semakin meledak dan memohon pengampunan di kedua kaki orang itu. Sambil bersimpuh dia memohon “Jangan siksa aku mas. Jangan siksa aku dengan semua ini. Selangkah kamu keluar, kamu mau menemukanku dalam bentuk yang lain? Jangan tinggalkan aku! Aku takut!” Ancamnya frustasi. 


Orang itu diam. Matanya memerah yang tak bisa Asri jelaskan. Tapi cara itu ternyata berhasil bagi hubungan mereka. Memohon seperti itu membuat hubungan ini bertahan ternyata. Karena sejam kemudian tangisan Asri berhenti dan mereka menyantap satu bungkus rujak cingur yang Asri beli di sebuah warung tegal dekat kontrakan mereka. Dengan mata yang sembap Asri memakan rujak sebungkus bagi dua walaupun sejujurnya Asri tak suka dengan rujak itu. Tapi demi orang itu lagi-lagi Asri tahan agar semua baik-baik saja. 


“Makan.” Ucap orang itu sambil melempar potongan cingur di piring Asri. 

“Aku gak suka mas” jawab Asri sekuat tenaga.

“Makan!” Orang itu kembali menegaskan. 

Dan Asri tak bisa apa-apa lagi.



Komentar

Postingan Populer