Rupa Rasa di Jakarta - Api Sumbu Pendek
Kening mereka saling menyatu setelah nafas saling memburu, kecup-kecup kecil diberikan sang perempuan sebagai tanda terima kasih karena tidak ada malam yang dilakukan dengan tidak tenang. Semuanya terasa pelan dan berharmoni tanpa terburu-buru.
Sambil menarik oksigen dengan rakus, sang lelaki berguling ke sebelah sambil melirik ke arah nakas yang dinyalakan lilin aromaterapi. Selama dia memadu bersama kekasihnya, baru malam ini dia penasaran mengapa api yang menyala pada wadah lilin itu selalu pendek? Serajin itu kah perempuannya memotong sumbu saat mereka menghabiskan waktu bersama?
Yang diajukan tanya pun merasa tanpa sang lelaki berkata. Perempuan itu ikut menatap api kecil yang menyala pada sumbu pendek “Kalo kamu penasaran, emang sengaja aku buat pendek sumbunya. Biar gak bahaya.” Jelas perempuan itu sambil menyenderkan bahunya pada dada bidang sang lelaki yang sosoknya kini telah dia ijinkan masuk pada ruang luka yang bertahun-tahun tak pernah betul-betul sembuh.
Lelaki itu memeluk perempuannya dari belakang, meski tak terlihat tapi air wajahnya masih saja menunjukan rasa penasaran. Kedua dahinya berkerut dan dengusan pelan dari hidungnya menyapa bahu. Perempuan itu kembali menjelaskan “Alasan lainnya sih biar wanginya lebih berasa aja. Kalo sumbunya panjang tuh apinya gede banget, terus jadi kotor gitu lho… kemana-mana.”
Lelaki itu mengangguk paham, satu lagi yang dia tahu tentang perempuan dan lilin kesayangannya itu. Kemudian lelaki itu memejamkan mata tanpa sadar, sementara sang perempuan masih menatap lilinnya yang menyala di sana.
Jika harus jujur, semua yang dia terangkan tadi bukanlah soal lilin favoritnya. Tapi dia pelan-pelan menceritakan bagaimana dia ingin menjaga lelaki di belakangnya itu bagai api kecil yang menyala dengan pada sumbu pendek.
Perempuan itu sudah berkali-kali merasakan api yang besar dan menggebu-gebu. Cahayanya menawarkan jauh lebih terang dan menyenangkan. Tapi api yang besar sering kali membuat lilinnya habis, belum lagi resiko patah hati. Segala macam aroma dan bahan lilin telah perempuan itu cari agar api yang besar bisa terus bertahan lama. Tapi hanya luka luka luka bakar yang tertinggal. Hingga suatu malam dia menyadari, bukan api besar yang dia cari dan kini dia termenung sambil menyalakan korek berharap apa pun itu yang datang dengan syarat bisa menyala tanpa perlu sesulit menjentikan korek, akan dia sambut dengan senyum.
Sebatang tembakau datang, tapi apinya tak cukup terang.
Sebatang kayu datang, tapi panasnya menyakiti sang perempuan.
Selembar kertas, hangus-abu.
Dalam pencarian lilin terbaiknya itu, dia benar-benar sudah pasrah “Jika tidak ada yang bisa menemaniku dengan terang dan hangat…. Sepertinya aku akan berjalan dengan jempol berotot”cekikiknya dengan setetes air yang merembes keluar dari ujung mata saat kedua matanya membentuk bulan sabit karena tertawa ironi.
Tepat saat itu, lelaki itu…. Datang. Lilin yang ditawarkan sederhana, tak ada spesialnya baik dari gelas kaca dan bentuk. Tapi satu yang perempuan itu sadari, aromanya berbeda. Aromanya kuat dan lembut secara bersamaan juga sumbu mulanya pendek. Dengan hati-hati perempuan itu menyalakan korek pada sumbu yang pendek dan aroma maskulin pun langsung tercium seketika. Perempuan senang dengan tawaran sederhana ini. Maka saat itu juga dia berpikir untuk selalu menjaga sumbunya kecil agar isinya tak cepat habis, agar aromanya lebih mudah keluar saat terbakar, dan tetap aman tanpa takut lilinnya terus menyala kala perempuan itu lengah.
Kembali dari lamunannya, perempuan itu meniup lilinnya untuk dia simpan esok-esok hari. Kemudian sebelum dia bergabung dalam lelapnya mimpi, dia mengambil punggung tangan sang lelaki dan mengecupnya “Tenang sekali aku… tahu lilinku itu kamu.”
Komentar
Posting Komentar