Rupa Rasa di Jakarta - Aneh
"Aneh,"
"kota ini sangat aneh."
Kata seorang pria sore itu, sambil memandang langit yang birunya cerah dan suara para bocah gang memekikan telinga. Pikirannya melayang bersama asap rokok lintingan buatannya. Asep terus terdiam.
Hari itu, tepat sebulan yang lalu. Sebuah berita datang dari pacarnya yang bekerja sebagai ART di Bandung. Pacarnya belasan kali menelfon Asep seolah-olah ada kata yang harus segera diucapkan. Jika tidak... Gawat!
Asep yang baru saja bercumbu dengan seorang psk pinggir stasiun pun kaget "Waduh, ono opo yo?". Jika kalian berpikir Asep adalah orang sunda, tentu iya, tapi lamanya dia tinggal di Jawa membuat logat Jawanya sulit dihilangkan. Sekali dua kali dering tidak ada suara di sebrang sana. Hingga panggilan kedua kali pacarnya mengangkat telfon itu "Bheb ono opo?" tanya Asep.
Pitri tidak menjawab langsung, ada jeda hening yang membuat Asep gugup. Dia berpikir 'Pitri ono opo yo?' air ludahnya dia telan susah payah. Suara helaan nafas terdengar dan Pitri pun mulai berbiacara "Lagi sama siapa mas?" tanyanya. Asep mengedarkan pandangannya, seorang perempuan di pinggir ranjang sedang memakai tanktop pink genjreng dan membersihkan dadanya dengan tisu. Asep lagi-lagi susah untuk berbicara pada pacarnya. Tidak mungkin kan dia bilang 'ya Bheb ada orang iki pelacor di kasur kostan ku lagi bebersih.' Bisa-bisa Pitri yang baru dia lamar 2,5 bulan yang lalu mati berdiri.
"Mas kenapa gak jawab?" tanya Pitri, sebelum Asep menjawab Pitri kembali melanjutkan "Mas, kalo mas lagi berdiri mendingan mas duduk dulu." suruh Pitri, Asep menuruti. Asep bingung harus jawab apa. Tidak biasanya Sabtu malam Pitri menelfon karena biasanya dia sibuk memasak untuk pengajian mingguan majikannya. "Ono opo Bheb?" tanya Asep lagi. "Mas masih di Jakarta kan? Belum pulang ke Malang kan?". Sambil menggelengkan kepalanya cepat Asep menjawab "Belum Bheb. Ono opo toh yo jangan buat aku deg-degan!?" tanyanya lagi.
"Mas besok aku kawin, mas. Sama majikanku." jawab Pitri.
Nafas Asep tercekat. Dadanya terasa tertimpa. Kepalanya pening dan sekujur tubuhnya lunglai "Gimana ceritanya Bheb?! Kamu kan udah aku lamar!".
Kini Pitri yang bergeming. Sebelum menjawab terdengar suara tegukan air yang membuat Asep semakin kesal. "Gak bisa! Secara agama lamaranmu gak sah Bheb! Kamu udah aku lamar!" teriak Asep, air matanya jatuh tanpa disadari sudah membanjiri pipinya. Dan Pitri masih hening.
"Mas inget gak udah tidur sama siapa aja?" akhirnya Pitri yang berbicara.
Asep yang masih menangis histeris seketika terdiam linglung.
Pitri kembali melanjutkan "Mas berapa kali tidur sama sepupuku Lela?"
Yang ditanya malah lebih marah "YA MANA KU TAU! MAU LELA MAU LELI MANA AKU INGET!"
Dan sedetik kemudian Asep merasa jadi manusia bodoh sedunia.
"Mas aku kawin ya besok." itu balasan Pitri. Dan Asep masih merutuki kebodohannya.
"Mas baru tidur sama Lela aja aku tau mas." Asep melirik ke perempuan yang sedang memakai gincu coklat.
Perempuan itu kemudian menghampiri Asep yang terdiam duduk di kursinya. Kecupan basah meninggalkan cap gincu di pipi kanan Asep.
"Udah sering main masa lupa nama?"
Dan perempuan itu pergi berlalu.
Satu bulan lalu terasa masih sangat segar diingatan Asep. Sejauh apa dia pergi sampai ke ibu kota, ternyata dia masih di sekitar orang yang sama.
Asep ditinggal Pitri.
Asep masih sering jajan karena stress ditinggal Pitri.
Padahal sama Pitri aja belum pernah.
Lela masih sering mangkal tapi Asep tak sudi bertemu. Dia pikir Lela adalah dalang di balik gagalnya perkawinan Asep dan Pitri.
Dia pikir kejadian seperti ini tidak akan pernah menimpanya. Dia pikir cerita yang seperti ini hanya ada di balik layar kaca 24 inch dengan judul berbagai macam azab.
Sore itu Asep kembali menangis tapi tak henti menyesap lintingannya. Matanya memerah air matanya jatuh hatinya hancur. Dia menggaruk selangkangannya sambil berkata "Aneh... Kota ini memang aneh."
"kota ini sangat aneh."
Kata seorang pria sore itu, sambil memandang langit yang birunya cerah dan suara para bocah gang memekikan telinga. Pikirannya melayang bersama asap rokok lintingan buatannya. Asep terus terdiam.
Hari itu, tepat sebulan yang lalu. Sebuah berita datang dari pacarnya yang bekerja sebagai ART di Bandung. Pacarnya belasan kali menelfon Asep seolah-olah ada kata yang harus segera diucapkan. Jika tidak... Gawat!
Asep yang baru saja bercumbu dengan seorang psk pinggir stasiun pun kaget "Waduh, ono opo yo?". Jika kalian berpikir Asep adalah orang sunda, tentu iya, tapi lamanya dia tinggal di Jawa membuat logat Jawanya sulit dihilangkan. Sekali dua kali dering tidak ada suara di sebrang sana. Hingga panggilan kedua kali pacarnya mengangkat telfon itu "Bheb ono opo?" tanya Asep.
Pitri tidak menjawab langsung, ada jeda hening yang membuat Asep gugup. Dia berpikir 'Pitri ono opo yo?' air ludahnya dia telan susah payah. Suara helaan nafas terdengar dan Pitri pun mulai berbiacara "Lagi sama siapa mas?" tanyanya. Asep mengedarkan pandangannya, seorang perempuan di pinggir ranjang sedang memakai tanktop pink genjreng dan membersihkan dadanya dengan tisu. Asep lagi-lagi susah untuk berbicara pada pacarnya. Tidak mungkin kan dia bilang 'ya Bheb ada orang iki pelacor di kasur kostan ku lagi bebersih.' Bisa-bisa Pitri yang baru dia lamar 2,5 bulan yang lalu mati berdiri.
"Mas kenapa gak jawab?" tanya Pitri, sebelum Asep menjawab Pitri kembali melanjutkan "Mas, kalo mas lagi berdiri mendingan mas duduk dulu." suruh Pitri, Asep menuruti. Asep bingung harus jawab apa. Tidak biasanya Sabtu malam Pitri menelfon karena biasanya dia sibuk memasak untuk pengajian mingguan majikannya. "Ono opo Bheb?" tanya Asep lagi. "Mas masih di Jakarta kan? Belum pulang ke Malang kan?". Sambil menggelengkan kepalanya cepat Asep menjawab "Belum Bheb. Ono opo toh yo jangan buat aku deg-degan!?" tanyanya lagi.
"Mas besok aku kawin, mas. Sama majikanku." jawab Pitri.
Nafas Asep tercekat. Dadanya terasa tertimpa. Kepalanya pening dan sekujur tubuhnya lunglai "Gimana ceritanya Bheb?! Kamu kan udah aku lamar!".
Kini Pitri yang bergeming. Sebelum menjawab terdengar suara tegukan air yang membuat Asep semakin kesal. "Gak bisa! Secara agama lamaranmu gak sah Bheb! Kamu udah aku lamar!" teriak Asep, air matanya jatuh tanpa disadari sudah membanjiri pipinya. Dan Pitri masih hening.
"Mas inget gak udah tidur sama siapa aja?" akhirnya Pitri yang berbicara.
Asep yang masih menangis histeris seketika terdiam linglung.
Pitri kembali melanjutkan "Mas berapa kali tidur sama sepupuku Lela?"
Yang ditanya malah lebih marah "YA MANA KU TAU! MAU LELA MAU LELI MANA AKU INGET!"
Dan sedetik kemudian Asep merasa jadi manusia bodoh sedunia.
"Mas aku kawin ya besok." itu balasan Pitri. Dan Asep masih merutuki kebodohannya.
"Mas baru tidur sama Lela aja aku tau mas." Asep melirik ke perempuan yang sedang memakai gincu coklat.
Perempuan itu kemudian menghampiri Asep yang terdiam duduk di kursinya. Kecupan basah meninggalkan cap gincu di pipi kanan Asep.
"Udah sering main masa lupa nama?"
Dan perempuan itu pergi berlalu.
Satu bulan lalu terasa masih sangat segar diingatan Asep. Sejauh apa dia pergi sampai ke ibu kota, ternyata dia masih di sekitar orang yang sama.
Asep ditinggal Pitri.
Asep masih sering jajan karena stress ditinggal Pitri.
Padahal sama Pitri aja belum pernah.
Lela masih sering mangkal tapi Asep tak sudi bertemu. Dia pikir Lela adalah dalang di balik gagalnya perkawinan Asep dan Pitri.
Dia pikir kejadian seperti ini tidak akan pernah menimpanya. Dia pikir cerita yang seperti ini hanya ada di balik layar kaca 24 inch dengan judul berbagai macam azab.
Sore itu Asep kembali menangis tapi tak henti menyesap lintingannya. Matanya memerah air matanya jatuh hatinya hancur. Dia menggaruk selangkangannya sambil berkata "Aneh... Kota ini memang aneh."
Komentar
Posting Komentar