Rupa Rasa di Jakarta - Sang Perempuan Antar Kota
Gerutan garis wajah letih sudah tergambarkan di wajah perempuan itu, sambil menggendong anaknya dia tertatih mengejar bis antar kota Tangerang-Bekasi.
Suaminya paling depan sudah berada diambang pintu masuk, dengan ukulele dekil penuh dengan stiker yang bertuliskan pantun mencari uang, dia memerintahkan perempuan itu untuk segera naik mengikutinya sebelum bis melaju lebih kencang.
Kabut asap dihadapi, tangan kanannya menutup wajah bayinya, ntah lah itu anaknya atau bukan, yang jelas anak itu tidak terlihat lesu senyum anak itu sesekali merekah. Malam itu sekitar pukul tujuh. Bis lenggang dan perempuan itu menarik nafas lega "Setidaknya malam ini tak berhimpit," meski mungkin belum cukup untuk membeli bubur sachet untuk bayi.
Suaminya mulai memetik senar sambil mengucap kata sambutan "Yak bapak ibu sekalian, kita sama-sama cari rejeki, daripada saya panjang tangan lebih baik saya panjang suara", satu dua lagu lawas pun dimulai. Sang perempuan mulai membagikan amplop kecil berukuran kartu KTP kepada para penumpang, hingga kartu itu jatuh di tanganku. Ini sudah ke tiga kalinya bis ini disinggahi para penarik suara, dan aku mulai merasa terganggu karena melihat sang perempuan yang menggendong bayi. Maksudku, mengapa harus selalu dengan metode membawa bayi?
Lalu sekilas terdengar suara sang perempuan yang sumbang saat bernyanyi, ntah berapa bis yang dia singgahi, yang pasti harinya selalu panjang dengan berpindah-pindah tempat.
Sang bayi ikut menggerakan kakinya, wajahnya segar dan senyumnya merekah.
Terbesit untuk menghakimi dengan menuliskan "kalo ngamen jangan bawa anak dong!" tapi ku urungkan. Siapa aku? Siapa aku yang berani menilai tanpa tahu?
Dan sekali lagi, sang perempuan itu kembali ke bangkuku untuk mengambil amplopnya. Sebelum ku beri, aku melihat sekilas bayinya dan ku berikan begitu saja tanpa ingin terlibat emosi lebih jauh.
Aku bergegas untuk turun sesampainya di terminal, diikuti beberapa orang yang mengantri untuk keluar. Di belakang ku lagi-lagi sang perempuan dan bayinya ikut mengantri keluar. Kurasakan tangan sang bayi menggapai punggungku berkali-kali. Perih rasanya.
Selepas turun bersamaan, dari ku menengok sekilas arah belakang. Sang perempuan memberikan tumpukan amplop pada suaminya dan sang suami membuka satu persatu amplop diikuti lirikan sang perempuan.
Banyak rupa rasa di Jakarta.
Suaminya paling depan sudah berada diambang pintu masuk, dengan ukulele dekil penuh dengan stiker yang bertuliskan pantun mencari uang, dia memerintahkan perempuan itu untuk segera naik mengikutinya sebelum bis melaju lebih kencang.
Kabut asap dihadapi, tangan kanannya menutup wajah bayinya, ntah lah itu anaknya atau bukan, yang jelas anak itu tidak terlihat lesu senyum anak itu sesekali merekah. Malam itu sekitar pukul tujuh. Bis lenggang dan perempuan itu menarik nafas lega "Setidaknya malam ini tak berhimpit," meski mungkin belum cukup untuk membeli bubur sachet untuk bayi.
Suaminya mulai memetik senar sambil mengucap kata sambutan "Yak bapak ibu sekalian, kita sama-sama cari rejeki, daripada saya panjang tangan lebih baik saya panjang suara", satu dua lagu lawas pun dimulai. Sang perempuan mulai membagikan amplop kecil berukuran kartu KTP kepada para penumpang, hingga kartu itu jatuh di tanganku. Ini sudah ke tiga kalinya bis ini disinggahi para penarik suara, dan aku mulai merasa terganggu karena melihat sang perempuan yang menggendong bayi. Maksudku, mengapa harus selalu dengan metode membawa bayi?
Lalu sekilas terdengar suara sang perempuan yang sumbang saat bernyanyi, ntah berapa bis yang dia singgahi, yang pasti harinya selalu panjang dengan berpindah-pindah tempat.
Sang bayi ikut menggerakan kakinya, wajahnya segar dan senyumnya merekah.
Terbesit untuk menghakimi dengan menuliskan "kalo ngamen jangan bawa anak dong!" tapi ku urungkan. Siapa aku? Siapa aku yang berani menilai tanpa tahu?
Dan sekali lagi, sang perempuan itu kembali ke bangkuku untuk mengambil amplopnya. Sebelum ku beri, aku melihat sekilas bayinya dan ku berikan begitu saja tanpa ingin terlibat emosi lebih jauh.
Aku bergegas untuk turun sesampainya di terminal, diikuti beberapa orang yang mengantri untuk keluar. Di belakang ku lagi-lagi sang perempuan dan bayinya ikut mengantri keluar. Kurasakan tangan sang bayi menggapai punggungku berkali-kali. Perih rasanya.
Selepas turun bersamaan, dari ku menengok sekilas arah belakang. Sang perempuan memberikan tumpukan amplop pada suaminya dan sang suami membuka satu persatu amplop diikuti lirikan sang perempuan.
Banyak rupa rasa di Jakarta.
Komentar
Posting Komentar