Forget Jakarta



Rintikan air hujan masih belum mau berhenti dari penampungannya, baunya pun masih kentara di penciumanku. seorang ibu-ibu tua masih membolak-balikan gorengannya di balik bilik warung kecil pinggiran ibu kota.

"Aku kira cewek cantik ngga suka dateng ke warkop kayak gini..." ucap seseorang yang tiba-tiba saja duduk di sebelahku. Gambar-gambar permanen di badannya terselip di leher jenjang lelaki itu, seolah memberi tanda karya dalam hidupnya. 

aku mengirup sekali lagi aroma bau hujan sambil menggigit pisang goreng yang masih hangat, dia menunggu tanggapanku akan ucapannya barusan. 
"Aku kira seorang seniman muda yang sudah menjajaki galeri-galeri ternama di Asia lebih suka kedai kopi mahal buatan luar sambil membawa sketch book dan melihat keluar jendela, dibandingkan warkop pinggiran seperti ini." kataku dengan spontan tanpa filter apa-apa. ups! 

apakah dia tersinggung?

Senyumnya mengembang dari bibir hitam, tanda dia perokok berat, dia menggelengkan kepala sambil cekikikan geli. "Asal ceplos, sarkastik 'Banget', lucu, dan langka." katanya dengan penuh penekanan di setiap kata, tangannya mengambil satu buah gorengan yang baru saja di taruh di piring. Aku mengernyitkan dahi tanda tak setuju, "Langka?" 
Dia tersenyum malu-malu, tapi tak ada jawaban dari pertanyaanku.

Angin malam yang terasa sejuk kala saat itu musim kemarau adalah pengalaman langka. Bersama vespa bobroknya dia membawaku keliling-keliling bundaran HI dan mencoba setiap tempat makan di pinggir trotoar yang kita jumpai. pecel lele, bubur ketan, bubur ayam, skoteng, sate dan soto madura, sepertinya perutnya tidak ada pembatas daya tampung. Sambil menghabiskan satu tusuk sate ayam yang tersisa di piringnya, kita tertawa bersama membahas pameran pertamanya yang terasa konyol. Saat itu dosennya menganggap lukisannya sebuah sampah yang tak punya daya jual, namun dia tetap nekat untuk mengikuti pameran di Bali. Dengan bermodal nekat, lukisan "Sampah" nya ini terjual 750$, dia sendiri asal menyebutkan nominal harganya karna dia hanya ingin karyanya dilihat bukan untuk dijual.
Uang itu tidak semua dia gunakan untuk dirinya, dia hanya menggunakan 15% dari uang itu untuk membuat tatto di pundak kanannya, sebagai tanda pengingat. Pembeli karyanya saat itu menepuk pundaknya dengan keras karena kagum akan lukisannya. 

"Ini tatto pertama aku, setiap liat ini aku inget kejadian lukisan 'Sampah'. Sisa dari lukisan itu aku kasih ke rumah belajar menggambar untuk anak jalanan di Bandung." Jelasnya dengan bangga, matanya terpancar semangat akan hari-hari itu.

"Tumben yah Jakarta banyak bintang?" tanyanya sambil menyalakan pematik tua dan sebatang rokok terselip di bibir tipis dan hitam miliknya.
Aku memutar bola mataku, "Ini bukan bintang, ini hanya pemandangan kota Jakarta di malam hari di ketinggian. Kamu ini pinter-pinter goblok juga yah..." 
Dia tersenyum dengan asap rokok setengah menutupi wajah. "Aku goblok cuma pas sama kamu doang kok. Ngga tahu deh kenapa.... Jatuh cinta kali ya?" tanyanya dengan wajah yang polos. 
Kontan membuatku menoleh ke arah lelaki bodoh di sebelahku, bisa bisanya dia mengucapkan "Jatuh cinta" segampang dia mengucapkan "Aku lapar.." 

"Tak segampang itu mengucapkan jatuh cinta." ucapku sarkastik.
"Tak segampang itu mendapatkan cinta, dan tak mudah mendekati kamu. kamu cinta kan?" 
"Yha... iya namaku memang Cinta. and then?" tanyaku dengan tergagu, sial, bisa-bisanya aku di buat salah tingkah!

Dia terdiam lama, lalu memutar badannya hingga dihadapanku. Bibirnya melayang jatuh di keningku. Hangat. 

"Lihat langit malam, anginnya yang sejuk akan memberitahu dimana bintang milik kita. cuma kita."

***

Jalanan yang luas dengan lampu-lampu kuning temaram membuatku sedikit terkantuk-kantuk. Masih satu setengah jam lagi untuk sampai ke Bandung. Seorang anak kecil dengan jilbab berwarna merah muda di sampingku tertidur pulas sambil memeluk jaketnya. Ibunya sibuk mengutak-atik tablet dengan wajah serius. 
Aku membenarkan posisi dudukku agar nyaman. Dengan hati-hati, mataku melirik kearah pergelangan tangan kiriku. Terdapat sebuah luka bakar hasil penghapusan tinta permanen yang kubuat dua tahun yang lalu. 

p.m

Sebuah alunan lagu di radio mobil travel malam itu, suara adhitia sofyan mengaung di telinga. Forget Jakarta miliknya membuatku terus teringat akan janji dan ingkar yang dia buat. 

Dia tidak kembali ke Jakarta, aku tahu. 
Dia membuatku berjanji untuk tidak mengingatnya....
 aku tidak bisa.


Komentar

Postingan Populer