Rupa Rasa di Jakarta - Lama
Lelaki itu membuka kembali berkas yang telah lama diarsipkan. Padahal dulu, telah dia taruh jauh dan dikubur dalam di antah berantah. Tapi malam ini, tanpa diundang arsip lama itu hadir di depan wajahnya.
Entah harus menangis
Entah harus marah
Rasanya melihat memori lama ini
Membuatnya diam
Mati rasa
Lelah
Perasaan apa ini? Ketika marah saja tak ada tenaganya. Sedih pun sudah kering air matanya.
Jujur saja lelaki itu takut, tapi sudah tidak punya tenaga untuk terus menolak setiap kali arsip kenangan lama muncul tiap kali di rasa dirinya senggang.
Maka dengan sisa-sisa tenaga yang ada dia memberanikan diri untuk membuka semuanya. Tidak ada penolakan sama sekali. Dia memandangi satu persatu setiap momen tanpa berkomentar. Tersenyum atau mengernyitkan dahi pun tidak. Dia hanya menunjukan wajah datar. Mungkin jika saat itu dia sedang bersama istrinya, sang puan akan menyangka bahwa semua baik-baik saja. Untung saja istrinya bukanlah cenayang yang bisa membaca pikirannya.
Jadi dia tidak tahu dibalik tanpa ekspresi itu
betapa besar rasa sang lelaki ingin memeluki satu persatu setiap kenangan lamanya.
Betapa besar keinginannya untuk bertanya pada masa lalu “bagaimana kabarmu?”
Betapa sakit hatinya berteriak rindu pada hal yang tidak bisa dia ubah.
Malam itu, dia tutup kembali arsip lama itu.
Dia bungkus kembali sedia kala.
Malam itu dia tidak berusaha untuk membuang jauh arsip lama itu. Dia taruh depan terasnya berharap kurir memori menjemput arsip tersebut dan tidak akan kembali. Karena dalam arsip lama itu dia tuliskan sebuah pesan…
“Sudah ku terima semua memori lama. Sudah ku putuskan untuk melanjutkan hidup yang baru. Aku harap yang lalu-lalu biarlah di sana, aku maafkan segala yang terjadi di lalu-lalu. Terima kasih.”
Komentar
Posting Komentar